Kata Amien Rais dan kelompok partai oposisi
Pernyataan AR bahwa Jokowinomics gagal, itu jelas tidak tepat. Dan lagi istilah Jokowinomics itu tidak pernah ada. Negeri ini bukan negeri totaliter atau khilafah dimana titah raja adalah hukum.
Kebijakan Ekonomi era Jokowi bukanlah kebijakan Jokowi tetapi kebijakan Rakyat melalui UU yang di create DPR. Itu systemnya. Semoga AR masih ingat ketika anda duduk sebagai Ketua MPR yang melahirkan amandemen UUD 45. Jadi itu dulu terlebih dahulu saya luruskan agar tidak salah persepsi bahwa Jokowi menciptakan tiran dalam sistem ekonomi. Lantas apa kebijakan ekonomi yang dilakukan pemerintah di era Jokowi itu ?
Pertama adalah Keadilan Ekonomi.
Pak AR tahukan bahwa selama 14 tahun sebelumnya, data juga menunjukkan, Indonesia banyak menghamburkan subsidi BBM. SBY, misalnya, menghabiskan sekitar Rp 1.300 triliun atau tepatnya Rp 1.297,8 triliun sepanjang 2004-2014 atau rata-rata Rp 129,7 triliun setiap tahun.
Presiden sebelumnya, Megawati Soekarnoputri, membakar subsidi BBM hingga Rp 198,6 triliun selama tiga tahun memerintah atau Rp 66,2 triliun setiap tahun. Jumlah ini tidak termasuk ongkos sosial dari melambatnya pembangunan akibat uang dibakar yang menurut JK bisa mencapai Rp. 6000 triliun. Lantas siapa yang menikmati ? Sebagian besar orang yang punya kendaraan. Hanya sebagian kecil untuk rakyat miskin. Adilkah ini?
Sementara begitu banyak infrastruktur ekonomi seperti Irigasi, pelabuhan, jalan yang sangat vital untuk meningkatkan produktifitas dan kelancaran logistik tidak dilakukan.
Kalaulah uang yang dibakar untuk subsidi itu digunakan untuk membangun jalan, kita sudah punya jalan bagus trans sumatera, trans kalimantan atau trans sulawesi. Bisa juga memperbaiki jalan di Papua. Memperbaiki infrastruktur daerah pinggiran. Tetapi itu tidak dilakukan pak.
Selama presiden sebelumnya, selalu pengumuman kenaikan BBM dilakukan oleh menteri. Presiden berlindung dari balik istana. Tetapi di Era Jokowi kenaikan BBM langsung diumumkan oleh Jokowi. Tanpa takut kehilangan citra.
Karena begitulah seharusnya agar bisa melihat keadaan secara jujur bahwa kita kurang duit dan perlu berhemat. Uang subsidi dialihkan untuk pembangunan infrastruktur agar keadilan ekonomi tercipta. Dana desapun terus meningkat dari tahun ketahun.
Kedua, tata kelola pembangunan.
Agar kesempatan berusaha terbuka lebar dan terhindar dari bisnis rente, dalam upaya untuk mempercepat pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka pelayanan publik semakin ditingkatkan.
Mempercepat perizinan, menghilangkan pungutan-pungutan yang tidak perlu. Akibatnya pembangunan tata kelola hubungan pemerintah pusat dan daerah berjalan efektif dan efisien. Sedangkan percepatan reformasi birokrasi dan perkuatan otonomi daerah terus berproses.
Setidaknya puluhan waduk besar, irigasi besar, jalan tol, dan semua hal yang berkaitan dengan sarana dan prasarana, baik itu darat, air, udara sudah terbangun yang sumber dananya baik melalui APBN maupun B2B. Tanpa tata kelola yang baik engga mungkin proses bisa berlansung cepat.
Terbukti sebelum era Jokowi banyak yang mangkrak.
Ketiga, kerangka makro ekonomi yang kuat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih positif dan tetap stabil. Tingkat kemiskinan mengalami penurunan.
Ketimpangan pendapatan turun dari waktu ke waktu yang sekarang ini menjadi 0,393. Tidak hanya itu, tingkat inflasi juga bisa turun cukup tajam. Jika di 2014 mencapai 8,36 persen bahkan sebelumnya mendekati 2 digit namun kini turun dibawah 5%. Credit rating naik menjadi layak investasi oleh Moody’s, Fitch, dan Standard & Poor.
Tahun ini rating kita masuk katagori stabil. Ini pengakuan yang paling objectif tentang kinerja makro ekonomi kita dan dinilai paling berhasil dalam melakukan reformasi struktural ekonomi dibandingkan negara lain.
Kalau makro ekonomi kita jelek engga mungkin orang mau kasih utang ditengah harga komoditas jatuh dan pasar dunia yang menyusut.
Keempat. Iklim investasi di Indonesia dalam beberapa tahun kedepan masih akan sangat kondusif.
Pemerintah Jokowi berhasil menarik investasi asing dan lokal dalam jumlah yang terus meningkat dari tahun ketahun. ADB mencatat bahwa reformasi struktural yang dilakukan memberi sentimen positif pada bisnis dan investasi. Selain itu pengeluaran modal yang lebih tinggi dari pemerintah dalam rangka mengatasi kesenjangan infrastruktur, juga berperan meningkatkan mutu pertumbuhan.
Global Competitiveness Index (GCI), Travel and Tourism Competitiveness Index dan Gender Global Gap Index, Indonesia saat ini pada peringkat 36, naik 5 tingkat dari tahun 2016/2017. Konsumsi rumah tangga dan purcashing power pada 2018 terus meningkat dan 2019 diperkirakan akan juga menguat, sehingga turut berperan dalam menopang pertumbuhan ekonomi berspektrum jangka panjang.
Lantas dimana gagalnya ?
Apakah pengamat bisnis dari lembaga rating international itu semua bego dalam menilai peluang investasi di Indonesia ? Enggalah. Mereka lebih dipercaya oleh investor daripada anda dan gerombolan anda yang jangankan menjadi matahari, menjadi lilin pun engga bisa.
Oleh : Budi Haryanto, Surabaya