JAKARTA – Abdul Halim Dalimunthe menjadi tunanetra setelah masuk SMA. Sprinter tunanetra itu menguasai huruf braille dalam sepekan.
Halim mengalami cedera tulang ekor hingga penglihatannya menurun. Seiring berjalannya waktu, dia menjadi buta total.
Dari sekolah umum, Halim kemudian pindah ke sekolah khusus tunanetra. Dia meninggalkan Jakarta dan hijrah ke Bandung. Halim bergabung dengan Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Wyata Guna Bandung.
“Di situ saya baru tahu kalau tunanetra itu bisa di segala bidang. Fungsi yang hilang itu penglihatan saja, penglihatan yang menjadi gelap. Itu bukan halangan, kan secara umum masih bebas,” kata Halim dalam One on OnedetikSport.
Di sekolah itulah, Halim belajar main bola, gitar, dan ketrampilan lain. Juga, mau tidak mau, Halim harus terbiasa dengan huruf braille.
“Sejak masuk PSBN tunanetra, saya ingat huruf braille. Dulu, pake pulpen, sekarang saya pake reglet dan stylus, pulpen untuk bikin lubang. Alhamdulillah sepekan langsung bisa,” tutur Halim.
“Begitu pula dengan Al Quran. yang dulunya saya jarang pegang Al Quran, lewat huruf braille saya cuma butuh satu minggu untuk bisa lancar,” dia menambahkan.
Selain harus membiasakan diri dengan cara menulis dan membaca baru, Halim juga dituntut untuk peka dengan suara dan benda-benda di sekitarnya.
“Setelah menjadi tunanetra, saya juga tidak tahu, kok pendengaran saya menjadi peka. Menjadi lebih mudah mendengarkan apapun,” ujar Halim.
Kali ini, di Asian Para Games 2018, Halim ingin membaca kabar gembira lewat tulisan braille. Ingin ada namanya tertulis berhasil meraih medali.
Dia juga berharap bisa mendengarkan sorak sorai penonton di tribune Stadion utama Gelora Bung Karno (SUGBK). Dia akan berlari secepat-cepatnya, menjadi wakil Indonesia di pesta olahraga disabilitas Asia mulai 6-13 Oktober di cabang olahraga atletik.
Sumber : Detik.com