BERITA JAMBI – Bagaikan buah Simalakama, ketika tak di perketat berpotensi membawa dampak bagi pengendara umum. Sebaliknya di perketat, terdampak bagi para supir. Begini jeritan supir Batubara di Jambi, pasca aturan operasional terbaru.
Polemik jalur angkutan batubara, beberapa pekan lalu santer di bicarakan. Betapa tidak, hal ini kerap kali mengundang aksi demonstrasi dari kalangan mahasiswa.
Alhasil, beberapa waktu lalu Pemerintah Provinsi Jambi, secara resmi mengeluarkan kebijakan inisiatif. Dalam kebijakan tersebut, di antaranya memberlakukan jalur alternatif via Muara Bulian tembus ke Tempino Muaro Jambi.
Lalu, dalam hal jam operasional menjadi pukul 21.00-06.00 WIB. Tak hanya itu, pengetatan tonase juga di perketat maksimal 8 ton muatan.
Baca juga : Polres Muaro Jambi Gelar Vaksinasi Serentak di 10 Polsek dan Subsektor
Tak ayal, hal ini menimbulkan jeritan tersendiri bagi para supir batubara di jambi.
Seperti melansir dari salah satu channel YouTube milik youtuber Jambi dengan judul, ‘curhat’ antara supir angkutan batubara, bersama anggota DPRD Provinsi Jambi.
Jeritan para supir tersebut, dengan jam operasional yang di persempit, membawa dampak tersendiri. Di mana, untuk mendistribusikan batubara dari mulut tambang menuju Pelabuhan Talang Duku Jambi, memakan waktu berkisar 2 hari.
“Batubara nya, dari Kabupaten Tebo. Kemarin muat nya, anterian dari jam 12 siang sampailah diisi muatan jam 4 sore. Ya karena memang, antriannya panjang berkisar 50 mobil,” ungkap Supir, dalam dialog channel youtube tersebut.
Masuk ke Dapur Hanya 150 Ribu
Lebih lanjut, dalam sesi wawancara tersebut supir batubara juga mengakui masih membawa muatan 10 Ton. Sementara, dalam aturan yang di terapkan Pemerintah, hanya diizinkan sebanyak 8 Ton. Mengapa demikian?
Bukan tanpa alasan, pelanggaran tersebut di lakukan melainkan imbas dari, minimnya pendapatan para supir.
Bayangkan saja, bilangnya, untuk muatan 10 Ton hanya di ongkosi sejumlah 1,8 juta. Sementara, dari keseluruhan 1,8 juta tersebut, masih ‘nyetor’ kepada pemilik angkutan sebesar 800 ribu rupiah.
Itu artinya, untuk operasional alias uang jalan hanya 1 juta, beserta pendapatan supir terbagi di dalamnya. Alhasil, supir angkutan batubara hanya meraup pendapatan sejumlah 150 ribu, dalam satu kali perjalanan.
“Kalau muatan 10 ton, saya cuman ngambil sisa uang jalan saja pak. Paling-paling, ya berkisar 150 ribu per ride. Kalau di hitung dalam sebulan, hanya 2 juta bersih pak, itupun kalau irit di perjalanan. Nah, semisal 8 ton itu kita gajinya lebih tipis pak, bisa-bisa mundur semua supir,” jelasnya.
Kerap Menjadi Sasaran Demo?
Selanjutnya, para supir juga meluapkan jeritan hatinya, saat beberapa waktu lalu kerap menjadi bulan-bulanan aksi demonstrasi. Bak pasrah namun terselip sebuah pertanyaan besar, Ia menuturkan, untuk mencukupi kebutuhan ‘dapur’ saja sulit.
Di tambah lagi, menggeluti pekerjaan sebagai supir angkutan batubara, mengharuskannya mempertaruhkan nyawa di balik kemudi.
“Itulah kami heran pak, padahal yang nabrak itu bukan mobil batubara. Tetapi, kenapa mobil batubara menjadi sasaran. Terus terang ya pak, kami supir ini makan saja susah. Pulang dari bongkaran di Talang Duku, sudah bongkar pun makan susah,” tukasnya, seraya raut wajah bersedih.
Akankah Jalur Khusus Menjadi Solusi?
Untuk itu, saat ditanya soal solusi dan harapannya kedepan. Tak banyak tanggapan, pengemudi kendaraan roda enam ini menuturkan, berkeinginan dapat bekerja dengan lancar dan selamat dalam perjalanan.
Kemudian, Ia juga menggantungkan harapan, agar pendapatan para supir dapat ditingkatkan. Lagi-lagi, pekerjaan bertaruh nyawa tersebut hanya diberi pendapatan bersih, senilai 150 ribu dalam satu kali perjalanan.
Lantas, akankah penuturan supir tersebut bermuara pada adanya jalur khusus beberapa tahun ke depan?
“Tidak banyak harapan pak, di tambang lancar, di perjalanan juga lancar. Kemudian, harga angkutan juga bisa di naikkan sedikitlah. Semisal 10 ton, itu uang jalannya 1,8 ya di naikkanlah. Pemilik mobil bisa bayar kredit, gaji kami meningkat sedikit.” tutupnya. (Tr01)