APA KABAR ADD ?

15 Januari 2016 kemarin adalah ulang tahun ke-2 UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Ada beberapa keistimewaan dari UU ttg Desa yg baru ini dibanding UU yg lama, yaitu;

Jabatan kades diperpanjang selama 6th dan menjabat max 3x, Kades dan perangkat desa memperoleh penghasilan tetap tiap bulan, adanya kewenangan tambahan bagi kepala desa unt mengatur pendapatan dr desa, lembaga desa (BPD) diberi kewenangan unt mengawasi kinerja kepala desa, dan tiap desa mendapat ADD berkisar 1 M per tahun.
Lantas setelah dua tahun lahirnya UU ini apakah pemerintah desa sudah mampu menjawab tantangan dari keistimewaan yang diberikan kepada desa? khususnya masalah ADD dimana sebelumnya desa blm pernah mendapatkan porsi anggaran dr APBN.
Ternyata diberbagai daerah khususya Prov. Jambi masih menyisakan berbagai persoalan seperti dilansir beberapa media lokal, di Kab. Merangin misalnya banyak pejabat sementara Kades yang mundur dikarenakan masalah dana desa.
Masalahnya bukan dana nya tidak cair, tapi justru karena jumlah kucuran dana yang besar, sehingga tanggung jawab pengelolaan juga semakin besar, sedangkan desa tidak memiliki SDM yang mumpuni untuk mengelolanya sehingga takut akan bayang-bayang salah mengelola dan dianggap merugikan negara alias korupsi.
Dalam UU No. 6 tentang Desa, dijelaskan bahwa desa merupakan sebuah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia.
Untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat yang bertempat tinggal di desa diperlukan pendapatan desa agar tujuan pembangunan desa dan desa membangun tercapai. Salah satu sumber pendapatan desa yang diatur dalam UU Desa adalah Alokasi Dana Desa (ADD).
Alokasi Dana Desa (ADD) merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima pemerintah daerah kabupaten/kota paling sedikit 10% setelah dikurangin Dana Alokasi Khusus (DAK).
Sejak diundangkannya UU Desa, tiap desa akan mendapatkan ADD berkisar antara Rp. 800 juta sampai Rp. 1,4 Milyar. Dana tersebut mulai dikucurkan sejak terbitnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa Yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Saat ini di Indonesia terdapat sekitar 73.000 desa. Dengan adanya dana bantuan dari pemerintahan pusat tersebut, tiap desa akan mendapatkan ADD yang berbeda-beda, dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah dan tingkat kesulitan geografisnya.
ADD diprioroitaskan untuk membiayaai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, meningkatkan pelayanan publik dan pemerataan pembangunan desa.
Karena dana yang dikelola kepala desa sangat besar, maka penting bagi kepala desa dan perangkat desa untuk membekali diri dengan ketrampilan mengelola keuangan, membuat pembukuan yang baik, akuntabel dan transparan.
Pembinaan Pemerintah Desa.
Untuk mengantisipasi agar dana yang dikucurkan tidak menyalahi regulasi yang ditetapkan pemerintah pusat perlu melakukan pembinaan serta pengawasan jalannya pemerintahan di desa.
Pengawasan dan pembinan bisa didelegasikan kepala provinsi atau kabupaten kota dengan cara melakukan pengawasan dalam penetapan anggaran, evaluasi anggaran, dan pertanggungjawaban anggaran.
Melakukan pendampingan pada saat perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan pembangunan desa, melakukan peningkatan kapasitas kepala desa, perangkat desa, serta memberi sanksi bila ada penyimpangan.
Untuk melakukan semua itu pemerintah pusat melalui pemerintah kabupaten/kota harus segera merekrut tenaga ahli dan tenaga pendamping teknis desa untuk mengawasi kepala desa dalam pelaksanaan programnya.
Pengawasan Penggunaan ADD.
Jika setiap desa mendapatkan ADD hingga milyaran pertahun, tantangan terbesar adalah mampukan desa mengelola dana sebesar itu dengan keterbatasan SDM yang ada di desa?
Kekhawatiran muncul jika baik secara sengaja maupun tidak sengaja dana tersebut disalahgunakan karena masih terbatasnya SDM yang mengelola dana desa.
Rawannya penyimpangan ini sangat beralasan melihat mental para pejabat yang masih doyan korupsi, jika berkaca pada zaman otonomi daerah sebanyak 525 kepala daerah terjerat korupsi akibat menyelewengkan uang negara.
Bila desa memperoleh dana milyaran pertahun, bukan hal yang mustahil bila tidak diantisipasi maka kemudian hari banyak kepala desa yang berurusan dengan hukum karena merugikan keuangan negara, praktek korupsi akan berpindah dari kota ke desa.
Untuk itulah diperlukan mekanisme kontrol dari masyarakat untuk mengawasi penggunaan ADD ini, agar dana tersebut sesuai dengan peruntukannya meningkatkan pembangunan di desa.
Pemerintahan desa dituntut agar lebih akuntabel yang didukung dengan sistem pengawasan antara Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mengingat semakin kuatnya keuangan desa pada era sekarang.
BPD mempunyai peran penting dalam menyiapkan kebijakan pemerintahan desa bersama kepala desa. BPD sebagai penjelmaan masyarakat desa juga mempunyai kewenangan untuk mengawasi kinerja kepala desa khususnya dalam hal penggunaan keuangan desa.
Peran pengawasan ini harus dikerjakan dengan sungguh-sungguh jangan malah bersekongkol untuk merampok uang rakyat. Adanya mekanisme check and balance ini akan meminimalisir penyalahgunaan keuangan desa.
Selain mekanisme kontrol dari BPD, sejak adanya UU Keterbukaan Informasi Publik setiap orang juga berhak meminta informasi terkait penggunaan anggaran, salah satunya penggunaan ADD.
Dengan demikian ADD bisa juga diawasi oleh masyarakat umum agar ADD benar-benar digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik di desa sehingga transparansi penggunaan ADD benar-benar dijalankan.
oleh : Mochammad Farisi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page