BELUM genap 3 bulan pasca menginjak usianya yang ke-20 pada 13 Agustus 2023 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah diterjang citra negative dari masyarakat, bahkan dinilai mengalami kemunduran lantaran mengeluarkan putusan No.90/PUU-XXI/2023 yang dinilai telah terintervensi dan ternodai konflik kepentingan.
Adapun putusan No.90/PUU-XXI/2023 tersebut merupakan putusan yang mengabulkan sebagian permohonan atas uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terkait batas usia minimum pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 169 huruf Q UU Pemilu tersebut mensyaratkan batas usia minimum 40 tahun untuk seseorang dapat mencalonkan dirinya menjadi Presiden atau Wakil Presiden. Namun, keberadaan pasal tersebut digugat oleh seorang mahasiswa lantaran dinilai penetapan batas usia tersebut bersifat diskriminatif, sehingga bertentangan dengan beberapa pasal dalam UUD 1945, seperti Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D, dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Untuk itu, pemohon dalam petitumnya memohon agar MK menyatakan pengaturan dalam pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa calon telah berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Namun, kejanggalan kemudian terasa ketika MK hendak memutus perkara No. 90/PUU-XXI/2023, dimana MK secara tiba-tiba merubah sikap serta pandangannya terhadap objek permohonan yang sama dan kemudian mengabulkan sebagian permohonan batas usia minum pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dengan syarat pernah menjabat sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Usut punya usut, ternyata faktor perubahan pandangan MK tersebut disebabkan oleh komposisi kehadiran hakim MK pada Rapat Pemusyawaratan Hakim (RPH).
Pada perkara No. 29, 51, dan 55 diketahui bahwa RPH hanya dihadiri oleh delapan hakim konstitusi, tanpa kehadiran Anwar Usman selaku ketua MK. Namun, pada saat RPH pengambilan keputusan perkara No.90, Anwar Usman yang saat ini juga memiliki hubungan kekeluargaan dengan Presiden, tengah hadir dan menyebabkan pergeseran arah putusan MK sebelumnya. Sungguh hal yang janggal dan sarat akan kepentingan golongan tertentu dalam sebuat praktik ketatanegaraan.
Rasanya tidak berlebihan jika kemudian masyarakat mengecam dan memberi cap buruk pada MK. Sebab, kejanggalan ini pun turut diamini oleh Saldi Isra yang juga menjabat sebagai hakim MK.
Isi Keputusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas pencalonan capres dan cawapres
“Bunyi ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang telah dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi No.90/PUU-XXI/2023 dalam penalaran yang wajar berpotensi secara pasti akan menimbulkan persoalan hukum bagi calon yang berusia di bawah 40 tahun karena terdapat frasa ‘yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”
“Sementara terhadap frasa tersebut tidak menyebutkan secara spesifik pada jabatan pada tingkat apa yang dimaksud tersebut. Apakah jabatan pada tingkat Gubernur dan Wakil Gubernur atau juga termasuk jabatan pada tingkat Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota”
Sementara, berdasarkan putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, meski ada lima hakim MK yang mengabulkan gugatan tersebut, tetapi ada dua hakim yang turut mengabulkan tetapi dengan concurring opinon yaitu Enny Nurbaningsih dan Danil Yusmic P. Foekh.
Keduanya mengabulkan gugatan tersebut dengan syarat paling rendah berumur 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah setingkat provinsi.
Komentar Terhadap Putusan MK
Sebagai mahasiswa Ilmu Pemerintahan,Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi saya melihat bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki dampak yang kompleks. Di satu sisi, memungkinkan anak presiden untuk menjadi calon wakil presiden dapat dianggap sebagai peluang bagi partisipasi politik yang inklusif.
Jika dalih yang ditekankan Mahkamah Konstitusi dalam hal ini adalah untuk memberi rasa keadilan bagi setiap warga negara dan upaya untuk mengatasi budaya gerontokrasi, maka menurunkan batas usia ataupun menetapkan pengalaman jabatan seseorang dengan tidak tegas rasanya juga bukanlah pilihan yang tepat.
Pengaturan batas usia sebagai syarat seseorang mengikuti kontestasi politik bahwasanya ditetapkan sebagai filter untuk mencari calon pemimpin atau pejabat yang mapan. Usia memang bukan tolak ukur pasti dalam menilai kapasitas seseorang untuk menduduki jabatan tertentu.
Namun, seiring bertambahnya usia seseorang juga diharapkan sudah semakin memiliki pengalaman yang mapan, terutama untuk menduduki jabatan dengan cakupan kepemimpinan yang luas, seperti Presiden dan Wakil Presiden.
Namun di sisi lain, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran terkait prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam proses politik, keputusan tersebut dapat membuka pintu bagi praktik nepotisme dan oligarki politik.
Sekalipun pada akhirnya ditetapkan pengecualian terhadap mereka yang telah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, hal tersebut rasanya juga tidak sebanding dengan ‘tantangan’ yang harus dihadapi ketika seseorang menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Perlu disadari memang bahwa praktik politik dinasti atau politik kekerabatan memang sulit untuk dihentikan. Pun, dalam beberapa negara demokrasi lainnya pun, praktik ini masih terus berkembang. Namun, bukan berarti tidak dapat dilakukan upaya pengurangan yang masif.
Keputusan MKMK Tentang Pemberhentian Ketua MK Anwar Usman Dari Jabatannya
Keputusan MKMK:No. 2 MKMK/L/11/2023
Hakim terlapor yakni ketua MK Anwar Usman. MKMK tidak menemukan cukup bukti untuk menyatakan Anwar memerintahkan pelanggaran prosedur dalam prose pembatalan dan pencabutan putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Anwar juga tidak ditemukan berbohong terkait ketidakhadiran dalam RPH.
Baca Juga : Fantastis, Bantu UMKM, PTPN VI Salurkan Rp 4,8 Milyar
Namun, Anwar terbukti tak menjalankan fungsinya kepemimpinannya secara optimal, selain sengaja membuka ruang intervensi pihak luar dalam P90.
Lantas amar putusannya dalam laporan ini : Anwar terbukti melakukan pelanggaran beratetik. Maka dari itu ia dijatuhi sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua MK. Anwar juga tidak berhak mencalonkan diri sebagai pimpinan MK sampai masa jabatan hakim konstitusi berakhir.
Ia pun tak diperbolehkan memutus sengketa pemilu.
Komentar Terhadap Keputusan MKMK Tentang Pemberhentian Ketua MK Anwar Usman Dari Jabatannya.
Menurut pendapat Arif Sahudi selaku Kuasa hukum Almas Tsaqibbirru, penggugat syarat batas usia capres dan cawapres, Ia menilai sidang MKMK terkait dugaan pelanggaran etik itu adalah sidang atas perilaku hakim, bukan atas putusannya.
“Artinya kalau putusan, berlaku asas putusan yang sudah dibacakan oleh hakim sudah dianggap benar, dan harus dilaksanakan,” kata Arif saat ditemui di sebuah rumah makan di Solo, Jumat, 3 November 2023. Namun ia menyatakan setelah turun putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 beberapa waktu lalu, urusannya pun sudah selesai. “Bagi kami setelah putusan MK itu turun, masalah yang lain seperti putusan MKMK, tidak lagi terkait dengan kami,”
Menurut pendapat pribadi penulis seharusnya ketua MK anwar usman juga diberhentikan dari jabatannya sebagai Hakim MK karena menurut Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menganggap Anwar telah melakukan pelanggaran berat dalam memutuskan perkara konstitusi.
Pendapat penulis juga diperkuat dengan tanggapan Menkopolhukam Mahfud MD yang merupakan mantan Ketua MK tahun 2008 – 2013 “Secara akademis saya setuju dengan Pak Bintan Saragih, seharusnya copot saja wong sudah pelanggaran berat,”
Menurut Menkopolhukam pasti ada kekecewaan atas putusan tersebut “Ada yang kecewa kenapa Ketua MK hanya dicopot dari jabatannya, kok tidak dicopot permanen dengan tidak hormat, itu saya paham ada kekecewaan itu,” jelasnya.
Namun, Mahfud mengaku sepakat dengan keputusan MKMK yang dipimpin Jimly Asshiddiqie. Sebab, jika langsung dicopot sebagai hakim MK, maka Anwar Usman bisa melakukan banding melalui pembentukan MKMK baru,
“Saya setuju itu, kalau (menurut) saya itu lebih tepat hukumannya daripada berspekulasi nanti dia mengusulkan pembentukan MKMK baru dan tidak jelas nanti siapa MKMK-nya, itu sudah benar secara praktis politis”.
Penulis : Indriyani
Mahasiswa dari UIN Sultan Thaha Syaifuddin Jambi
Prodi ilmu pemerintahan