HERRY WIRAWAN (lahir 19 Mei 1985) adalah seorang pimpinan pesantren asal Bandung, Jawa Barat, Indonesia yang setidaknya telah memperkosa 13 orang santriwatinya dan menyebabkan 9 di antara mereka hamil dan melahirkan. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung memvonisnya dengan hukuman penjara seumur hidup pada 4 April 2022.
Kasus Herry Wirawan mengemuka pada 8 Desember 2021 melalui beberapa kali sidang tertutup yang digelar di Pengadilan negeri Bandung sejak laporan diterima oleh Kepolisian Daerah Jawa Barat pada Mei 2021.
Heri mengaku telah memperkosa santriwatinya hingga hamil dan melahirkan sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), lalu pada 11 Januari 2022, Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut hukuman mati dan kebiri kimia terhadap Herry.
Selain itu, JPU juga menuntut hukuman denda Rp. 500 juta dan restitusi kepada korban sebesar Rp. 331 juta, serta pembubaran Madani Boarding School dan penyitaan aset dan barang bukti untuk dilelang.Majelis Hakim Pengadilan negeri Bandung, menjatuhkan vonis seumur hidup kepada terdakwa Herry, karena telah terbukti memerkosa 13 santiwatinya, sesuai dengan putusan yang dibacakan pada 15 Februari 2022.
Jaksa juga meminta Hakim menjatuhkan denda sebesar Rp. 500 juta, subsider satu tahun kurungan dan mewajibkan terdakwa membayar restitusi kepada korban sebesar Rp. 331 juta serta membekukan Yayasan Manarul Huda Parakan Saat, Madani Boarding School, Pondok Pesantren Madani dan merampas harta kekayaan terdakwa baik tanah maupun bangunan. Harta tersebut akan digunakan untuk membiayai kebutuhan sekolah para korban.
Melalui banding yang dilakukan oleh JPU,putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung pada 4 April 2022, Hakim menguatkan hukuman penjara seumur hidup dan mewajibkan terdakwa membayar restitusi Rp. 300 juta lebih kepada 13 korban santriwatinya.
Terbongkarnya kasus ini berawal ketika salah satu korban, yang tak lain merupakan santri Herry Wirawan, pulang ke rumah ketika hendak merayakan Idul Fitri 2021. Saat itu, orang tua korban menyadari bahwa putri mereka tengah hamil.
Kejadian ini lantas dilaporkan ke Polda Jawa Barat serta Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Garut. Berangkat dari laporan itu, polisi lantas melakukan penyelidikan dan penyidikan hingga terungkap bahwa korban diperkosa oleh Herry Wirawan. Dari situ, ditemukan fakta mencengangkan, bahwa ternyata korban perkosaan Herry tak hanya satu, melainkan 13 orang.
Dari jumlah tersebut, lahir 9 bayi dari 8 korban.
“Jadi ada anak yang melahirkan dua kali. Rentang usia korban 14-20 tahun, yang terakhir melahirkan itu usia korbannya 14 tahun,” kata Ketua P2TP2A Garut Diah Kurniasari Gunawan dalam pemberitaan Kompas.com, 9 Desember 2021.
Terlepas dari pro kontra, hukuman mati rasanya sah-sah saja bagi pelaku kejahatan yang keterlaluan. Bandar narkoba sudah selayaknya dieksekusi karena perbuatannya sudah merusak. Begitu juga dengan pemerkosa atau predator seksual terhadap anak-anak.
Tidak boleh ada tempat bagi mereka di muka bumi ini.Urusan mati itu memang urusan Tuhan sebagai pemilik kehidupan tapi mengeksekusi kejahatan itu adalah urusan para algojo. Bagi yang menentang hukuman mati terhadap Herry, apakah masih akan teriak terpidana tidak boleh dihukum mati kalau ada anggota keluarga mereka yang menjadi korban?.
Masihkan mereka bisa tegar melihat pelaku kejahatan seksual itu tersenyum mendengar vonis yang menganulir hukuman mati? Kejahatan itu timbul karena ada niat dan kesempatan dan memang tak akan hilang hanya karena hukuman mati. Tapi yang pasti, satu orang jahat lenyap dari muka bumi.
Dalam kasus pemerkosaan yang dilakukan Herry Wirawan dapat dikatakan extra ordinary crime karena terdapat pelanggaran hak asasi manusia dimana pelaku telah melakukan pemerkosaan terhadap anak dibawah umur sehingga dapat berpotensi merusak kesehatan anak baik secara fisik maupun mental.
Selain itu kejahatan ini juga bersifat sistematik yang menimpa 13 korban serta berimbas pada kejahatan seksual dan eksploitasi anak dengan motif ekonomi.
Pada kasus ini pelaku telah melanggar hak asasi manusia terhadap 13 korbannya yang menimbulkan trauma secara psikis maupun fisik. Oleh karena itu, diharapkan kepada seluruh aparat penegak hukum yang menangani kasus ini dapat mengambil keputusan secara objektif dengan mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang ada di persidangan. Sehingga putusan hakim nantinya dapat betul-betul memenuhi rasa keadilan bagi seluruh korban yang mengalami pelecehan seksual.
Penulis :
Mutiara Salsilina
Mahasiswa jurusan ilmu pemerintahan angkatan 2022 Universitas Jambi