JAMBI – Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, yang dilahirkan dari pemikiran para petinggi bangsa ini, seharusnya sudah menjadi landasan negara untuk mensejahterakan rakyat Indonesia, dengan cara memberi akses kepada masyarakat serta menghapus pola penghisapan hak atas tanah yang dicontohkan kolonial, menghapus hukum agraria buatan kolonial (Domein Verklaring), dan bentuk bentuk penghisapan lainya.
Namun, keberpihakan negara hari ini lebih kepada para pemilik modal dibandingkan kepada rakyatnya sendiri, sehingga tidak heran ketika terjadi konflik agraria rakyat dikorbankan demi investasi.
Persoalan konflik agraria sudah menjadi isu nasional, belum lama ini kita ditontonkan dengan berita berita tentang konflik agraria di seluruh penjuru Indonesia. Perampasan tanah tanah rakyat oleh negara dan korporasi telah menjadi asupan berita sehari-hari masyarakat Indonesia.
Baca Juga : Edukasi Petani Bersama Pusri, PTPN VI Gelar Sekolah Tani
Mungkin sebagian masyarakat Indonesia mempertanyakan kenapa itu semua bisa terjadi? Jawabannya sangat sederhana, itu karena kebijakan pemerintah melalui berbagai aturan baru yang mereka buat. Kita tahu ada UU Cipta Kerja yang tahun lalu disahkan demi mendatangkan investasi. Padahal, Mahkamah Konstitusi sudah menyatakan bahwa undang-undang baru tersebut telah bertentangan (melanggar) konstitusi negara kita.
Di ujung pemerintahan rezim Jokowi yang telah menjanjikan reforma agraria sembilan juta hektar untuk rakyat, hanya janji palsu yang tidak bisa ditepati. Di akhir masa jabatan presiden Jokowi, pemerintah semakin menunjukkan ketidakberpihakannya kepada rakyat kecil.
Masyarakat asli yang sudah ratusan tahun menempati, lahir, besar, dan membuat peradaban budaya di tanahnya sendiri malah diusir demi pembangunan pabrik kaca milik asing di Pulau Rempang. Masyarakat Rempang yang menolak meninggalkan tanah kelahirannya harus berhadapan dengan aparat negara (TNI-POLRI) sehingga menjadi korban kekesaran, mengalami intimidasi dan kriminalisasisi.
Di Provinsi Jambi sendiri, sebagai pemegang konflik nomor dua terbesar se-Indonesia, setahun terakhir ini banyak terjadi letusan konflik. Petani dan aktivis agraria semakin diintimidasi dan dikriminalisasi. Aparat yang seharusnya sebagai penegak hukum mestinya menjunjung tinggi nilai nilai keadian dinegara ini, bukan mengkriminalisasi petani.
Dari berbagai macam kasus konflik agraria di Provinsi jambi baik disektor Hutan Tanaman Industri (HTI), perkebunan, dan tambang, PT WKS dari Sinar Mas Group menjadi penyumbang konflik terbesar di lima kabupaten di Provinsi Jambi,yang merampas lahan garapan petani.
Tahun 2021 hingga 2023, konflik agraria disektor perkebunan juga tidak luput dari sorotan publik, seperti konflik agraria antara masyarakat Desa Sumber Jaya dengan PT FPIL (Fajar Pematang Indah Lestari), masyarakat Desa Betung dengan eks PT RKK (Ricky Kurniawan Pertapersada), masyarakat Dusun Pematang Bedaro, Desa Teluk Raya dengan PT FPIL.
Hingga saat ini konflik agraria tersebut tidak menemukan titik terang dalam penyelesaiannya, yang terjadi malah masyarakat terus diintimidasi dengan berbagai macam cara, seperti menggunakan preman serta aparat keamanan. Sebanyak 28 warga telah diproses secara hukum pidana karena memperjuangkan hak atas tanah.
Terhadap upaya kriminalisasi tersebut sudah dapat kita lihat sebagai rangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh konflik agraria struktural. Selain tidak melalui proses hukum acara pidana yang jelas, penggunaan hukum pidana pada persoalan konflik agraria bukanlah solusi sebagai jalan penyelesaian, malahan hal ini akan memicu terjadinya konflik berkepanjangan.
Kehadiran perusahaan juga telah menyebabkan petani kehilangan lahan garapan mereka,anak-anak didesa putus sekolah,pemuda menjadi pengangguran,perempuan banyak menjadi buruh harian lepas, serta hadirnya perusahaan juga telah menyebabkan kerusakan lingkungan di Provinsi Jambi. Konflik Agraria yang terjadi telah menghancurkan budaya dankearifan lokal yang diwarisi oleh nenek moyang kita sejak dahulu.
Atas dasar hal tersebut, maka Aliansi GESTUR Jambi menyatakan sikap sebagai berikut:
- SEGERA BEBASKAN 28 ORANG KORBAN KRIMINALISASI DARI SEGALA PROSES HUKUM SEKARANG JUGA
- SEGERA LAKSANAKAN REFORMA AGRARIA SEJATI SEKARANG JUGA SEBAGAI JALAN PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA
- CABUT UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA